Film perahu kertas produksi Starvision yang ditayangkan pada 16
Agustus 2012 mengisi liburan lebaran mendapat perahtian luar biasa dari
masyarakat.
Dari sejumlah film Indonesia yang diedarkan pada masa liburan Lebaran,
film araha sutradari Haung Bramantyo itu merupakan jumlah penonton terbanyak
dibandingkan film lain.
Seperti film Brandal-brandal Ciliwung, Cinta Suci Zahrana, Tanah Surga
katanya dan 18++ Forever Love, Perahu kertas mengantongi jumlah penonton
sekitar 600 ribu orang.
Perahu kertas diadaptasi dari novel dengan judul sama karya Dewi
Lestari, Dewi menulis Novel itu secara maraton selama 55 hari berurutan.
“Saya bahkan sempat tinggal dirumah kost khusus untuk menuelsaika
novel ini,” kata Dewi.
Novel yang diterbitkan Bentang Pustaka pada 2008 itu, ternyata
mendapat tempat dihati masyarakat, hingga kemudian dicetak ulag sampai 15 kali.
TENTANG HATI
Chandra Parwez Servia, produser Starvision, mengatakan, Perahu Kertas
adalah film yang lengakp dan mengungkapkan cinta secara kreatif.
“Film ini bicara tentang hati yang dipilih, dan tentang bagaimana
cinta menjadi inspirasi yang membuat orang merasakannya menjadi manusia lebih
baik,” katanya.
Perahu Kertas adalah salah satu film terpajang yang pernah dibuat
stavision, dengan durasi 4,5 jam. Yang kemudian dibagi menjadi dua film, yaitu
perahu kertas dan perahu kertas 2.
Kesuksesan film Perahu Kertas, mendapat apresiasi dari mentri
Pariwisata dan ekonomi kreatif, Mari Eka Pangestu.Mari bahkan memuji Perahu
Kertas sebagai film yang sukses mengadvokasi industri kreatif.
Ini film tentang orang-orang kreatif. Kita bisa melihat karakternya
banyak menggeluti bidang kreatif seperti penulis, pelukis dan sebagainya,” kata
Bu Mentri.
Makin banyaknya film-film
berkualitas yang diproduks akan menumbuhkan rasa optimisme. “Saya optimis,
dengan semakin banyaknya film berkualitas yang produksi sineas Indonesia, maka
kita akan segera memasuki era film bermutu,” tegas Mari.
HANUNG TAKUT
Novel Perahu Kertas laris manis dipasar, hingga harus cetak ulang
sebanyak 15 kali. Itu artinya masyarakat sudah tahu benar isi cerita novel tersebut.
Maka ketika Hanung Bramantyo mendapat tugas mengadaptasinya ke film
layar lebar, ada ketakutan dalam dririnya menghadapi penonton yang sudah fasih
ending ceritanya.
“Saya takut, karena saya tidak menghadapi penonton yang fresh, dan
akan membandingkan dengan versi novel serta sudah tau endingnya,” tutur Hanung.
“Awalnya saya malas, karena akan
menghadapi hal yang sama seperti ini dan hadapi pertanyaan sama pula, yaitu
apakah sama dengan novelnya, tambahnya.
Sebagai sutradara, Hanung memilih menjadi medium dan menghidupi
karakter yang sudah ada. Diapun melibatkan Dewi Lestari.
“Makanya kehadidra penulis novel ini sangat penting,” imbuhnya. Pos
Kota,18/01/13. Hl.9.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar