Selasa, 29 Januari 2013

Al-Hikmah: Tentang Cinta Kita

Mari kita ukur kadar cinta kita, apakah kita mencintai kegelapan atau mencintai cahaya yang memancar dari Allah Swt dan RasulNya?
Dalam firmanNya:
“Katakan (Muhammad) apabila bapak-bapakmu (leluhur), dan anak-anak, dan saudara-saodaramereka, dan istri-istrimu, dan keluargamu, dan harta-harta yang kamu usahakan, dan bisnis yang kamu takutkan kerugiannya, dan rumah tinggal yang kamu tentrami dengan senang, lebih kamu cintai disbanding Allah dan RasulNya, dibanding perjuangan dijalanNya, maka tunggulah, hingga Allah mendatangkan perintahNya (azab). Dan Allah tidak memberi hidayah kepada orang yang fasik.”
Kefasikan selalu muncul ketika cinta itu lebih mengutamakan makhluk ciptaan, dan segala hal yang berorganisme dengan ciptaa, disebabkan keterpesonaan yang menumbuhkan hijab antar Allah dan hambaNya.
Bagaimana siksa tidak muncul? Sedangkan anda menempuh jalan hijab, jalan alam ciptaan, dan mengganti Jalan Ilahi, sehingga tidak menemukan Allah disana? Mengikuti jejak Rasul adalah bentuk dan wujud cinta kita kepada Allah Swt. “Katakan, jika kamu mencintai Allah, maka ikutilah aku, Allah bakal mencintai kalian.”
Rupanya cinta itu ada di sanubari kita, bukan di bibir kita, bukan pada bendera yang kita kibarkan. Apalagi kalau cinta kepada Allah dan RasulNya kita jual belikan untuk kepentingan duniawi kita. Na’udzubillah.
KHM> Luqman Hakim

 Pintu Harapan Dan Kesedihan
“Apabila anda ingin Allah swt membuka pintu harapan padamu, maka lihatlah apa yang dianugerahkan dariNya kepadamu. Dan apabila anda Allah membuka pintu kesedihan kepadamu, maka lihatlah apa yang engkau lakukakan baginya.”
Harapan dan kesedihan, adalah dua hal yang terus berdampingan. Karena adanya harapanlah, seseorang mulai optimis dan terbuka masa depannya. Khususnya masa depan dengan sang Pencipta.
                 Namun, sepanjang yang disebut harapan, semata juga karena dibuka oleh Allah swt, berupa kepatuhan dan ketaatan kita. Apa pun yang dari Allah swt, senantiasa membuka harapan kita karena seluruh ketaatan kita, kebajikan kita, semuanya dari Allah, bukan dari diri kita.
Namun juga sebaliknya, bila kita mengingat apa yang ada pada kita berupa kontra dengan Allah Swt, kemaksiatan dan dosa-dosa kita, pastilah kita akan sedih dan duka. Bahkan kalau toh kita menengok masa lalu kita, kita tetap saja sedih, karena apa yang kita berikan kepadaNya, tak ada apa-apanya, apalagi jika dibanding yang datang dari Allah swt kepada kita. Oleh sebab itu beliau melanjutkan:”Kadang-kadang Allah memberikan makna guna kepadamu dalam kelamnya Qobdh (Genggaman Ilahi yang mencekam), yang tidak anda dapatkan makananya ketika anda dalam suasana kelapangan siang hari (seperti siang terang).”
Betapa seringnya kita raih hikmah-hikmah yang menghantar kita untuk taqqarub kepadanya dibalik cobaan yang mencekam, yang kita tidak dapatkan ketika kita diberi kelapangan dada, kemudahan dan kesehatan dan murahnya rizki anda.
Disinilah para ‘arifun lebih memilih meraih Qabdhnya Allah dibanding suasana lapang dan mudah dariNya. Sebab betapa seringnya orang tergelincir karena kemudahan dan kelapangan. Sedangkan ketika diberi cobaan, hatinya remuk redam dalam sikap ubudiyah kepadaNya, penuh rasa hia dina, fakir, tak berdaya dan lemah.
Syeikh Ibnu ‘Athaillah
As-Sakandary


Tidak ada komentar:

Posting Komentar