Suatu pagi di sebuah perkampungan miskin. Tampak seorang ibu dengan penuh semangat sedang membuat adonan untuk membuat tempe, pekerjaan membuat dan menjual tempe telah digeluti selama bertahun-tahun sepeninggal suaminya.
Saat membuat adonan, sesekali pikirannya menerawang pada sepucuk surat yang baru diterima dari putranya yang sedang menuntut ilmu dirantau orang. Dalam surat itu tertulis, “Bunda tercinta, dengan berat hati, ananda mohon maaf harus mohon dikirim uang kuliah agar dapat mengikuti ujian akhir. Ananda mengerti bahwa bunda telah berkorban begitu banyak untuk saya. Ananda berharap secepatnya menyelesaikan tugas belajar agar bisa menggantikan bunda memikul tanggung jawab keluarga dan membahagiakan bunda. Teriring salam sayang dari anakmu yang jauh.”
Dua hari lagi adalah hari pasaran, biasanya tempat hasil buatan si ibu dibawa kepasar untuk dijual. Kali ini, tempe yang dibuat dalam jumlah yang lebih banyak dari biasanya, dengan harapan mendapatkan lebih banyak dari biasanya, dan dengan harapan mendapatkan lebih bayak uang sehingga bisa mengirimkan ke anaknya.
Sehari menjelang hari pasar, hati dan pikiran si ibu panik karena tempe buatannya tidak jadi, entah karena konsentrasi yang tidak penuh atau porsi tempe yang dibuat melebihi biasanya. Kemudian si ibu pun sibuk berdoa dengan khusuk di sela-sela waktu yang tersisa menjelang keberangkatannya ke pasar, memohon kepada Tuhan diberi kemukjijatan agar tempenya siap dijual dalam keadaan jadi. Tetapi sampai tiba di pasar, tempenya tetap belum jadi.
Sepanjang hari itu daganganya tidak laku terjual. Si ibu tertunduk sedih, matanya berkaca-kaca membayangkan nasib anaknya yang bakal tidak bisa ikut ujian. Saat hari pasar hampei usai para pedagang lain pun mulai meninggalkan pasar, tiba-tiba datang seorang ibu berjalan dengan tergesa-gesa, “Bu, saya nyari tempe yang belum jadi, dari tadi nggak ada, ibu tahu saya harus cari kemana?”
“Untuk apa tempe belum jadi kok dicari?” Taya si penjual heran.
“Saya mau membeli untuk dikirim ke anak saya di luar kota, dia sedang ngidam tempe khas kota ini,” kata ibu calon pembeli.
Ibu penjual tempa ternganga mendengar kata-kata yang baru didengarnya, seakan tak percaya pada nasib baiknya, seolah tangan Tuhan memberi kemurahan kepadanya. Akhirnya tempe dagangannya diborong habis tanpa sisa. Dia begitu senang bersyukur dan menambah keyakinan bahwa Tuhan tidak akan pernah meninggalkan umatnya selama manusia itu sendiri tidak putus asa dan tetap berjuang. Itulah kekuatan doa. Dan doa adalah senjata bagi kita. Amin. Andrie Wongso. (MP).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar