Suatu hari disebuah kota di Ohio, Tommy, seorang siswa berusia 4 tahun yang agak tuli dan bodoh di sekolah, pulang ke rumahnya membawa sepucuk surat dari gurunya. Ibunya yang bernama Nancy Mattews membaca surat tersebut, “Tomy anak ibu, bodoh dan tidak dapat mengikuti pelajaran di sekolah kami. Kami minta ibu untuk mengeluarkannya dari sekolah.
Sang ibu terhenyak membaca surat ini. Tapi, ia segera bertekad, “Anak saya Tommy, bukan anak bodoh. Mulai saat ini, saya sendiri yang akan mendidik dan mengajarnya.” Karena itulah, Tommy hanya bersekolah di sekolah resmi selama 3 bulan. Selanjutnya, ibunya yang mendidik dan mengajarnya di rumah.
Sang ibu bertekad untuk mengajari Tommy berbagai hal. Hingga akhirnya Tommy berhasil menjadi orang sukses dan bermanfaat bagi orang banyak. Siapakah Tommy ini? Ia adalah Thomas Alva Edison, sang penemu lampu yang temuannya menjadikan bumi ini tidak gelap gulita. Inilah salah satu contoh hasil didikan seorang ibu.
Kisah nyata di atas mungkin terdengar klise karena mungkin masih ada sebagian dari kita yang beranggapan bahwa pendidikan adalah hanya tugas lembaga bernama sekolah formal. Padahal, ada lembaga lain yang cukup penting dalam mendidik generasi penerus bangsa. Lembaga tersebut adalah keluarga.
Seorang ibu, tanpa mengabaikan peran ayah, sangat berperan dalam mendidik dan mencetak anak-anaknya. Pada masyarakat Arab, ada ungkapan yang berbunyi “al ummu madrasatun (ibu adalah sekolah paling unggul)”. Sejak usia kandungan 4 bulan, pendidikan dari seorang ibu dumulai. Jadi, sekolah dimulai sejak dalam kandungan (konon, ibu-ibu di Barat dan Yahudi terbiasa memperdengarkan musik Mozart dan mengerjakan soal-soal Matematika yang sulit saat hamil dengan harapan agar anaknya nanti menjadi anak yang memiliki kecerdasan tinggi).
Hingga kemudian, ketika seorang anak lahir ke dunia memasuki masa balita dan masuk lembaga pendidikan formal, seperti Paud/TK, SD, SMP, SMA, hingga perguruan tinggi. Meskipun seorang anak telah memasuki dunia pendidikan formal, pendidikan dari ibu tetaplah berjalan. Idealnya seperti itu.
Jika kita menengok sejarah Hari Ibu di Indonesia, kita akan dapati bahwa seorang ibu memiliki peranan sebagai pendidik bagi anak-anaknya dan juga bagi bangsanya. Seorang ibu dimaknai sebagai ibu bagi anak-anaknya sekaligus juga ibu bagi bangsanya.
Hal ini tercetus pada Kongres Peringatan Perkumpulan Istri Indonesia (PPII) ke-2 pada 1935 yang mengambil jargon “Mewujudkan Perempuan Indonesia sebagai Ibu Bangsa”. Di balik pernyataan ini, telah muncul kesadaran mendalam mengenai kehidupan berbangsa pada perempuan. “Ibu bangsa” berarti bahwa perempuan bukan haya memiliki peran domestik dan sosial, melainkan berperan politik yang berkewajiban menumbuhkan dan mendidik generasi secara utuh.
Jika menilik Jepang, kita akan menemukan salah satu rahasia keajaiban ekonominya yang sangat pesat. Kyoiku Mama atau ibu pendidikan merupakan budaya Jepang yang tidak banyak orang tahu. Daoed Joesoef (mantan menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI) mengungkap tentang Kyoiku Mama ini. Para ibu di Jepang bertanggungjawab terhadap pendidikan anak mereka, sedangkan sang ayah mencari nafkah.
Para ibu yang disebut Kyoiku Mama ini rela untuk tidak mengejar karier sebagai seorang perempuan dengan bekerja di perusahaan atau sejenisnya. Mereka hanya fokus untuk mendidik anak (menyiapkan segala yang dibutuhkan anak untuk sekolah, kursus, dan les) dan mengurusi rumah tangganya. Dan rata-rata pendidikan mereka tinggi.
Merekalah yang mampu mendidik dan menghasilkan generasi yang menjadikan Jepang maju, seperti sekarang. Stereotip orang Jepang, seperti kedisiplinan, etos kerja yang tinggi, kesopana, dan kebersihan adalah buah dari didikan para Kyoiku Mama ini.
Jika di Jepang ada Kyoiku Mama, Indonesia memiliki organisasi-organisasi kaum ibu, seperti gerakan PKK yang susuna kepengurusan dan keanggotaannya menjangkau seluruh wilayah Indonesia sampai ke tingkat rukun tetangga (RT). Selain itu, juga ada Dharma Wanita, majelis-majelis taklim kaum ibu, dan lain sebagainya.
Organisasi-organisasi kaum ibu ini sebetulnya lebih terorganisasi jika dibandingkan Kyoiku Mama yang cenderung bersifat individual. Karena itu, organisasi kaum ibu ini adalah aset strategis yang perlu segera direvitalisasi dan digarap dengan serius,
Ibu-ibu yang terlibat dalam PKK, darma wanita, majelis-majelis taklim kaum ibu, dan organisasi perempuan dan keluarga lainnya hendaknya mampu mempelopori femily mainstream (pengurusutamaa kelaurga) bagi putra putrinya, baik di keluarga maupun di masyarakat. Dengan kata lain, para ibu yang sejatinya adalah “sekolah unggul” mampu menghasilkan generasi tangguh dan berkualitas.
Hari ibu adalah saat yang tepat untuk merevitalisasi gerakan para ibu Indonesia agar mampu mendidik anak-anaknya menjadi generasi penerus bangsa. Hari Ibu di indonesia hendaknya menjadi refleksi tahunan, sudah sejauh manakah ibu berhasil menjadi “sekolah unggul”. Republika, 22-12-12. (MP)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar