Sebagai pengusaha media massa, Dahlan Iskan paham benar harapan pembaca. Karena itu, Dahlan sangat cerewet soal berita. Berita teks dan berita foto, semua dipelototinya.
Berita foto, menurut Dahlan, sering kali lebih menarik dibanding berita tulisnya. Bahkan, ada beberapa peristiwa yang sudah bisa dimengerti hanya dengan mengamati foto saja. “Jadi, foto yang baik adalah foto yang bisa berbicara,” kata Dahlan.
Pada awal-awal menjadi wartawan “Jawa Pos” di Surabaya pada tahun 1991, saya pernah ditegur Dahlan soal foto. Dalam sebuah acara Pemerintah Daerah Kota Surabaya, saya menyodorkan beberapa foto walikota Surabaya yang sedang berpidato. “Ini bukan foto berita yang bagus. Ini tidak cocok untuk koran. Ini cocoknya hanya untuk majalah humas Pemda,” kata Dahlan.
Awalnya saya tidak “ngeh”. Karena itu, saya membantah. “Apa bedanya foto Walikota Surabaya pidato di acara ini, dengan pidato di rapat kerja yang lain? Tidak ada bedanya. Semua hanya menampilkan gambar orang pidato. Apa menariknya gambar orang pidato? Apa yang bisa diceritakan dari gambar ini?” tanya Dahlan.
Ketika saya sodorkan foto walikota menggunting pita, Dahlan lagi-lagi mengatakan hal yang sama. “Ini foto humas,” ucap Dahlan.
Jadi, bagaimana membuat foto yang baik? Saya tanya demikian, Dahlan kemudian memberi beberapa saran. Pertama, sebelum memotret, wartawan harus mengerti siapa yang akan melihat foto itu. “Kalau akan dimuat di koran, harus tahu siapa pembaca koran itu? Mayoritas pria atau wanita? Mayoritas dewasa atau remaja? Pengetahuan terhadap siapa konsumen media akan mempengaruhi pilihan objek fotonya,” kata Dahlan.
Kedua, foto berita harus memperlihatkan aktivitas orang agar hidup. Misalnya dalam sebuah kebakaran, orang yang sedang berjuang memadamkan api lebih baik menjadi objek foto, ketimbang foto api yang menyala-nyala.
Memasukkan foto orang yang memadamkan api itu pun tidak boleh sembarangan, alias asal-asalan. “Usahakan foto orang itu kelihatan wajahnya sehingga bisa dikenali pembaca,” kata Dahlan.
“Untuk apa?” tanya saya. “Agar kalau termuat, orang itu merasa bangga karena masuk koran. Kalau ada pembaca lain yang mengenali, pembaca itu akan menginformasikan kepada orang yang ada di dalam koran itu. Jadi, foto seperti itu akan membuat orang bangga dan juga ngerumpi. Yang dirumpikan adalah koran Anda,” jelas Dahlan.
Ketiga, foto berita jangan sampai membuat pembaca tidak suka. Walau foto itu secara jurnalistik benar, tetapi belum tentu disenangi pembaca. Perasaan tidak senang itu membekas sangat lama pada benak pembaca. “Besok-besok, pembaca itu tidak akan mau membaca lagi, karena masih trauma,” kata Dahlan. “Apa foto yang bisa membuat trauma pembaca?” tanya saya. “Foto yang sadis dan berdarah-darah harus dihindari. Pembaca kelas menengah tidak menyukai foto-foto itu. Pembaca kelas menengah senang foto orang-orang yang cantik dan wangi,” terang Dahlan.
Yang menarik, Dahlan juga menceritakan soal pentingnya wartawan foto memahami perasaan politik pembaca. “Jangan memajang wajah tokoh politik yang sudah tidak disukai publik. Apalagi memasangnya di halaman satu,” kata Dahlan.
“Mengapa?” tanya saya dengan penasaran. “Nanti koran Anda bisa tidak laku,” kata Dahlan.
Menjelang ambruknya Orde Baru, tidak pernah ada lagi foto tokoh Orde Baru itu di halaman utama ““Jawa Pos””. Berita-berita penting kepresidenan tetap dimuat, tetapi foto wajah Pak Harto hanya dipasang di halaman belakang.*
Joko Intarto, sebuah pengalaman pribadi
Follow me @intartojoko
Tidak ada komentar:
Posting Komentar