Kebanyakan pengarang
cerpen tidak membuat konsep terlebih dulu, baru kemudian diketik rapi. Ia akan
langsung menuliskan cerpennya sampai selesai selesai. Paling-paling setelah
selesai menulis, hanya ada koreksian, seandainya (siapa tahu) ada kesalahan
ketik, meskipun sudah dikoreksi. Koreksian ini semakin tidak menjadi masalah
berat lagi sejak computer telah menggantikan peran mesin ketik.
Bagi
orang yang terbiasa membuat konsep terlebih dahulu, baru kemudian mengetik rapi
(biasanya bukan penulis prosa), menulis ide secara langsung merupakan hal yang
istimewa di matanya. Oleh karena itu sering datang pertanyaan kepada pengarang
cerpen : apakah anda tidak mengonsep
terlebih dulu? Bagi pengarang pertanyaan itu sangat konyol karena
baginya menulis cerpen berarti telah mempunyai konsep di kepalanya. Untuk apa
ditulis dua kali? Bukankah kalau seorang “pemburu” telah menemukan pelatuk
senjatanya, ia segera menembak?
Sebelum
pelatuk ditekan, sebenarnya dikepala pengarang telah tersimpan cerpen itu.
Penulis tinggal menuangkan saja dalam bentuk tulisan. Hasilnya mungkin tidak
persis seperti rekaman kaset video yang langsung dapat diputar secara otomatis,
tetapi sekurang-kurangnya konsep dasarnya sudah ada. Untuk menuliskannya dalam
bentuk tulisan diperlukan bahasa sebagi media, siasat, dan rekayasa imajinasi
sehingga cerpen merupakan suatu karya padat, unik, dan enak dibaca.
Menyiasati
menulis dengan merekayasa imajinasi, pengarang berurusan dengan dunia
“mungkin”. Imajinasi tidak mungkn lahir begitu saja tanpa pengalaman, baik
nyata maupun batin. Para ahli sastra mengatakan bahwa karya seni tidak
berangkat dari kekosongan. Artinya, cikal bakal karya seni itu, termasuk
sastra, merupakan refleksi dari kenyataan seperti yang telah dijelaskan
terdahulu kadang-kadang, persoalan kecil dalamkenyataan sehari-hari didalam
persoalan itu hanyalah rutinitas saja, tetapi ia menjadi topic (bahasa dasar)
sebuah cerpen.
Untuk
lebih kongkretnya, marilah kita lihat bagaimana proses lahirnya cerpen “istri
tukang kasur” yang berangkat dari realitas.
Menurut
pengarangnya, cerpen tersebut lahir setelah merekam objek secara tak sengaja
selam hamper setahun. Di dekat sebuah kampus perguruan tinggi neeri di kota
padang, ada jalan utama yang ramai karena di pinggirnya berjejal kedai-kedai
dan warung nasi yang tumbuh cepat. Disebelah warung nasi yang cukup laris,
terselip sebuah kedai kasur yang tampak kontras dengan warung nasi
disebelahnya. Warung nasi itu senantiasa ramai oleh pengunjung, terutama pada
jam-jam makan siang. Sementara itu, kedai kasur disebelahnya kelihatan seperti
tidak pernah digubris pembeli.
Suatu
siang sang pengarang dan istri mampir di kedai kasur itu karena ingin membeli
beberapa kilo kapas untuk menambah isi bantal yang sudah mulai kemps. Ternyata,
pemilik kedai itu tidak pernah memperlihatkan keramahannya pada pembeli dan tak
mau barang dagangannya ditawar. Istri sang pengarang merasa harga yang
ditawarkan pemilik kedai kasur itu terlalu tinggi dibandingkan dengan harga di
pasar pusat kota. Kunjungan itu berakhir dengan gagalnya pengarang dan istrinya
membeli kapas (kapuk) hari itu.
Di hari
yang lain sang pengarang mampir di warung nasi sebelah kedai kasur itu untuk
membeli beberapa bungkus nasi dan memarkir mobilnya persis di depan kedai
kasur. Tanpa diduga, pemilik kedai menegurnya: “jangan parkir didepan kedai
saya pak, gelap!” sang pengarang merasa tak bersalah karena ia parkir bukan di
trotoar, melainkan dipinggir jalan dan tak ada sangkut pautnya dengan kedainya
yang berhalaman trotoar. Jadi sang pengarang tidak menggubrisnya. Namun dalam
hatinya merasa dongkol. Akan tetapi, ia tidak mengadakan pembelaan, kecuali
membiarkan mobilnya tetap parkir di tempat itu sampai ia selesai membeli nasi.
Di hari yang lain, ketika sang pengarang mampir lagi untuk membeli nasi di
warung itu, ia sedang menyaksikan pertengkaran antara penjual rokok dengan
seseorang diluar kedai nasi yang bersebrangan dengan kedai kasur. Selidik punya
selidik ternyata perkaranya bermula dari seseorang melempar punting rokok yang
masih berapi tepat didepan kedai kasur sehingga pemilik kedai kasur itu marah.
“Seenaknya saja langgananmu membuang punting rorkok berapi ke depan kedaiku
kalau terjadi kebakaran bagaimana? Kamu bertanggungjawab? Kapuk kasur ini
barang mudah terbakar, atau?”
Tiga kali peristiwa yang
terekam secara tak sengaja itu memicu pelatuk imajinasi sang pengarang.
Sesampai dirumah, ia segera mengambil kertas dan mesin tik lalu membayangkan
kegusaran istri pemilik kedai kasur itu. Kegusaran terjadi terus menerus karena
senantiasa membandingkan kelarisan dagangan tetangganya dengan dagangannya yang
sesekali saja dibeli orang. Tidak mungkin setiap hari di areal yang tidak
terlalu luas itu, penduduknya membutuhkan kasur dan bantal. Oleh karena itu
sang pengarang melukiskan konflik antara pemilik kedai kasur dengan pemilik
kedai nasi di sebelahnya yang berakhir dengan kefatalan di pihak pemilik kedai
kasur.*
Dikutip dari buku kiat
menulis cerita pendek:
Harris ET. Hl.15
Tidak ada komentar:
Posting Komentar