Senin, 02 November 2015

Garam dan Telaga

Suatu ketika hidupalah seorang tua yang bijak. Pada suatu pagi, datanglah seronga anak muda yang sedang dirundung banyak masalah. Langkahnya gontai dan air mukanya ruwet. Tamu itu, memang tampak seperti orang yang tak bahagia.
Tanpa membuang waktu, orang itu menceritakan semua masalahnya. Pakt tua yang bijak hanya mendengarkannya dengan seksama. Ia lalu mengambil segenggam garam, dan meminta tamunya untuk mengambil segelas air. Ditaburkannya garam itu kedalam gelas, lalu diaduknya perlahan. “Coba mvnum ini, dan katakana bagaimana rasanya…”, ujar pak tua itu.
“Pahit, pahit sekali:, jawab sang tamu, sambil meludah kesamping.
Pak tua itu, sedikit tersenyum. Ia lalu mengajak tamunya ini untuk berjalan ke tepi telaga dan dalam hutan dekat tempat tinggalnya. Kedua orang itu berjalan berdampingan dan akhirnya sampailah mereka ke tepv telaga yang tenang itu.
Pak tua itu lalu menaburkan segenggam garam, ke dalam telaga itu.
Dengan sepotong kayu, dibuatnya gelombang mengaduk-aduk dan tercipta riak air, mengusik ketengangan telaga itu. “Coba ambil   air dari telaga ini dan minumlah. Saat tamu itu selesai mereguk air itu, pak tua berkata lagi  “Bagaimana rasanya?.
“Segar.” sahut tamunya. “Apakah kamu merasakan garam di dalam air itu?” Tanya pak tua lagi.”Tidak” jawab si anak muda.
Dengan bijak, pak tua itu menepuk-nepuk punggung si anak muda. Ia lalu mengajak nya duduk berhadapan, bersimpuh di samping telaga itu. “Anak muda, dengarlah. Pahitnya kehidupan, aalah layakanya segenggam garam, tak lebih dan tak kurang jumlah dan rasa pahitnya itu adalah sama, dan memang akan tetap sama.
“Tapi, kepahitan yang kita rasakan, akan sangat bergantung dari wadah yang kita milikv. Kepahitan itu akan didasarkan dari persaan tempat  kita meletakkan segalanya . Itu semua akan tergantung pada hati kita. Jadi, saat kamu meraskan kepahitan dan kegagalan dalam hidup, hanya ada satu hal yang bisa kamu lakukan. Lapangkanlah dadamu menerima semuanya. Luaskanlah hatimu untuk menampung setiap kepahitan itu.”
Pak tua itu lalu kembai memberikan nasehat. “Hatimu, adalah wadah itu. Perasaanmu adalah tempat itu. Kalbumu, adalah tempat kamu menampung segalnya. Jadi jangan jadikan hatimu itu seperti gelas. Buatlah laksana telaga yang mampu meredam setiap kepahitan itu dan merubahnya menjadi kesegaran dan kebahagiaan.
Keudanya lalu beranjak pulang. Mereka sama-sama belajar hari itu. Dan pak tua, si orang bijak itu kembali menyimpan “segenggam garam “, untuk anak muda yang lain, yang sering datang padanya membawa kresahan jiwa.*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar