Selasa, 24 November 2015

PROSES KREATIF Menulis Cerpen

Dari sekian banyak pengalaman pengarang fiksi termasuk fiksi cerpen, kegemaran membaca merupakan salah satu modal dasar kepengarangan. Dengan banyak membaca karya-karya fiksi yang baik, dengan sendiriny akan menambah pengalaman batin si pembaca. Didalam novel atau cerpen dapat dijumpai berbagai watak manusia yang menjadi tokoh cerita serta persistiwa-peristiwa yang selama ini belum pernah kita alami. Informasi-informasi yang mengasikkan itu dapat pula menimbulkan keinginan untuk selalu dekat dengan bahan bacaan. Buku-buku sastra atau bukan, karya asli maupun asing yang telah dibaca seseorang tentu juga memberikan kontribusi terhadap sikap kritis yang pada akhirnya timbul sikap memilih bacaan. Memilh bacaan tidak saja dari segi jenis karangan tetapi juga memilih pengarang yang disukai. Hal itu didapat dari pengalaman banyak membaca. Kebiasaan membaca itu sebaiknya dimulai sejak usia dini, ketika imajinasi mulai berkembang pesat.
Ada banyak kategori pembaca, diantaranya yang bakal menjadi pengarang adalah pembaca aktif dan kritis. Pembaca jenis ini tidak saja menempatkan dirinya sebagai penikmat, tetapi sekaligus menjadi kritikus. Berbekal kekayaan batin dari pengalaman pembaca, biasanya seseorang menjadi lebih peka terhadap realitas faktual, kehidupan nyata, lingkungan sosial, bahkan semesta alam. Hal ini diiringi dengan kemampuan menerungkan hakikat dari suatu fenomena. Dengan demikian, imajinasi menjadi berkembang dan saling berasosiasi dengan realitas faktual.Tanpa di sadari, kepekaan estetis muncul dalam dirinya.
Pada tahap selanjutnya, kebiasaan membaca yang telah mengantarkan seseorang menuju kepekaan estent estetis, secara selintas pernah terpikirkan untuk menuliskan ide cerita yang berkelabat di pikirannya. Masalahnya sekarang, bagaimana cara memulainya dan mengekspresikan dirinya melalui media bahasa tulis. Pengalaman menunjukkan bahwa untuk memulai suatu keterampilan baru memerlukan kesiapan mental. Analoginya ialah bagaimana seseorang belajar naik sepeda. Selama ini hampir tak pernah ada kursus naik sepeda. Persiapan belajar naik sepeda adalah nekat. Dengan modal nekat, seseorang akhirnya bisa mengendarai sepeda dengan enak. Bahkan, ada yang sangat mahir hingga menjadi pembalap. Akan tetapi, tentu saja hal ini dilakukan setelah melalui proses jatuh bangun bahkan luka.
Belajar naik sepeda adalah contoh sederhana untuk menjawab bagaimana caranya memulai menulis cerpen. Ketika ditanyakan kepada orang yang telah mahir naik sepeda: “Bagaimana caranya pertama kali belajar naik sepeda?” jawabannya sudah pasti dapat diduga, yakni dengan modal nekat, menggiring sepeda ketempat lapang, mulai menginjak pedal, terserah sebelah kiri atau kanan dulu, atau langsung naik sepeda jika cukup tinggi, lalu genjot! Jalan! Bagaimana kalau jatuh ? itu risiko. Coba lagi hingga bisa. Bagaimana kalau cerpen pertama kali ditulis tidak selesai? Coba saja selesaikan, apapun jadinya. Setiap jenis keterampilan termasuk menulis memerlukan latihan untuk sampai ke tingkat mahir.
Kepercayaan diri timbul ketika tanpa disangka-sangka seseorang telah mahir naik sepeda. Ia lupa bagaimana mulanya dulu ia susah payah memulainya. Demikian pula dengan menulis, ketika cerpennya hampir dilupakannya, tiba-tiba muncul disebuah surat kabar edisi minggu. Iapun telah lupa bagaimana dulu ia menyelesaikan cerpen itu dari awal hingga akhir. Ia merasa berhak disebut pengarang cerpen.
Sesungguhnya apa yang membedakan seorang pengarang fiksi, baik novel, cerpen, maupun puisi dengan orang yang tidak pernah menulis fiksi sebagai manusia tidak ada perbedaan diantara keduanya. Akan tetapi secara fungsi, penulis cerpen adalah produsen dan yang hanya membaca (bukan penulis adalah konsumen alias penikmat).
Sebagai produsen, penulis cerpen tidaklah bekerja seperti sebuah perusahaan produksi makanan dengan memakai jadwal kerja, pegawai dan target produksi. Seorang penulis cerpen atau pengarang fiksi bekerja sendiri dan tak terbatas waktu, kecuali kalau sudah capai. Seorang pengarang dalam proses melahirkan sebuah karya hanya berhadapan dengan mesin tulis, atau computer. Semua sumber karangan yang telah berkumpul dikepalanya mengalir ke jari-jarinya hingga menekan huruf demi huruf secara intens.
Mengarang cerpen adalah pekerjaan yang menyenangkan. Sama halnya ketika di sekolah Dasar dulu, guru kita menyuruh membuat karangan “suka hati”. Murid-murid, termasuk saya sendiri diam tanpa ada suaru karena asiknya menulis dengan pensil diatas selembar kertas dengan kepala hampir menyetuh meja.
Saya terkejut ketika terdengar suara buguru : “Siapa yang sudah siap boleh pulang, letakkan karangannya dimeja ibu!”
Antara godaan pulang kerumah dan menyiapkan karangan yang sedang terbengkalai membuat konsentrasi saya hampir buyar. Padahal, saat asyik membuat karangan suka hati itu, saya lupa bahwa saya sebenarnya sudah lapar dan haus segera pulang. Saat itu saya sedang asyik mencurahkan imajinasi saya tentang anak-anak yang main layang-layang hingga putus dan tersangkut dipohon asam. Semua anak-anak mengejarnya, termasuk “aku” dalam cerita. Orang yang berhasil memanjat pohon asam itu adalah seorang anak yang bertubuh kekar, tetapi nakal tak ketulungan karena kegemarannya selama ini mengganggu anak-anak yang lebih lemah darinya. Dalam karangan itu, saya merasa puas karena berhasil melampiaskan ketidaksenangan “ aku” terhadap sianak nakal hingga ia terjatuh dari pohon asam karena terlalu keujung dahan meraih layangan. Kakinya terpeleset hingga jatuh berdebam. Ia terpaksa digotong orang desa yang kebetulan pulang dari sawah kerumah sakit karena sinakal mengalami patah tulang.
Untunglah saya berhasil menyelesaikan karangan itu sebelum semua anak kelas Va pualang. Saya termasuk orang yang tidak terlalu cepat keluar, tetapi mungkin murid yang paling senang diberi tugas mengarang hingga berlanjut sampai dewasa.*
Dikutip dari buku Kiat Menulis Cerita Pendek:      Harris ET. Hl.55

Tidak ada komentar:

Posting Komentar